
Dalam
perbincaangan mereka, Yunita menyampaikan, Kota Bitung memiliki cagar
alam yang terletak di Batu Putih dan kawasannya memiliki banyak keragaman dan
bermacam flora, termasuk rumah Monyet Hitam Sulawesi (Yaki) Macaca Nigra.
Yaki banyak tersebar
dihutan primer dan hutan lindung di Sulut. Namun, paling banyak ditemui di
Cagar Alam Tangkoko. Sayangnya, populasi yaki makin menurun setiap tahun
karena disebabkan ancaman perburuan manusia untuk dikonsumsi dan dipelihara, ucapnya.
Saat ini, Yaki
berada dalam ancaman kepunahan, bahkan termasuk dalam daftar merah satwa yang
sangat terancam punah, menurut Serikat Internasional untuk konservasi alam
(IUCN). Survei yang telah dilakukan, hanya tinggal
tersisa 5000 individu yaki di Sulawesi Utara, 2000 diantaranya berada di Cagar
Alam Tangkoko. Penyebab utama menurunnya populasi yaki di tanah Minahasa (80%
dalam kurun waktu 40 tahun), tidak lain adalah karena yaki selalu menjadi
sasaran perburuan, untuk akhirnya diperdagangkan, dipelihara bahkan
dikonsumsi, pungkasnya.
Kontu sangat mengpresiasi atas penjelasan yang
dimaksud, untuk ditindaklanjuti,
Pemerintah secepatnya akan segera mengadakan sosialisasi tentang program
konservasi untuk selamatakan yaki dari masyarakat pembururan, tekad ini akan
memberdayakan populasi Yaki di Sulut, tentunya hal ini akan bekerjsama dengan
pihak yayasan Peduli yaki, terang Kontu.
Lewat sosialissi ini, pihak Pemkot Bitung dapat
menekan perburun mayarakat, menurutnya, banyak sekali manfaat untuk berkembang
biaknya hewan ini, karena yaki
merupakan salah satu satwa yang memegang peranan penting dalam keseimbangan
ekosistem alam, daya tarik wisata, serta penelitian ilmu pengetahuan, ungkapnya.
Kami harap, masyarakat agar tidak lagi berburu
yaki. Yaki
merupakan satwa yang tidak boleh
diburu dan dikonsumsi, sebab yaki saat ini dilindungi oleh Pemerintah lewat Undang - Undang RI
No 05 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah RI No 07 Tahun 1999 tentang perlindungan Satwa. Pihak International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) atau
World Conservation Union, pungkas Kontu.