Reportase Sulut.com - Pasangan calon Walikota dan Walikota Bitung
nomor urut 7, Ridwan Lahiya dan Max Purukan, mempertanyakan kinerja KPUD Kota
Bitung, yang mana, sejak tanggal 2 Desember 2015, paslon nomor urut 7 sudah
tidak lagi diakomodir oleh KPU, Minggu (13/12).
Paslon nomor urut 7, Ridwan Lahiya menuliskan diakun facebooknya mengatakan, tidak profesionalnya KPU bisa berakibat fatal bagi proses demokrasi di Kota Bitung, yang imbasnya bisa merugikan pihak – pihak lain. “Kemarin dan hari ini saya dan Pak Max Purukan yang dirugikan dan ketika proses hukum berjalan bisa saja ada pihak lain yang akan dirugikan apabila gugatan kami dimenangkan.
“Apapun hasilnya nanti, KPU Kota Bitung wajib bertanggung jawab terhadap situasi dan kondisi yang bakal terjadi di Kota Bitung, akibat tidak kredibelnya KPU dalam melaksanakan tugasnya”, ujar Lahiya.
Tidak diakomodir oleh KPU, hal itu bisa dilihat dalam bukti yang kami miliki. Sebab penganuliran Paslon 7 sebagai salah satu calon satu hari sebelum pemungutan suara cacat hukum. Proses Pengumuman kepada publik juga menabrak aturan, karena bukan dilakukan oleh KPU sendiri, ucap Lahiya.
Dengan menggunakan sarana lain, ada mobil dinas Kominfo untuk dilakukan publikasi, ada juga dengan menggunakan sara rumah ibadah (Toa Mesjid dan Gereja). Pada saat pemungutan suara di TPS 2 dilakukan hal – hal yang tidak wajar yaitu, perusakan surat suara dengan diberi tanda silang (X) pada surat suara, dll. Petugas KPPS melakukan aksi pelarangan mencoblos paslon nomor 7, padahal tidak boleh ada aksi – aksi seperti itu, sebab itu mengangkangi hak politik warga, jelas Lahiya dengan keras.
Perlu dicatat dan perlu diketahui, bahwa Paslon nomor 7 adalah Paslon yang pernah di TMS oleh KPU sebanyak 2 kali dan sehari sebelum pencoblosan kembali di TMS kan. Jelas ada unsure balas dendam. Kita akan uji semua bukti – bukti dan argument hukum dipersidangan Panwas Kota, PTUN, MK dan DKPP, pungkas Lahiya.
Paslon nomor urut 7, Ridwan Lahiya menuliskan diakun facebooknya mengatakan, tidak profesionalnya KPU bisa berakibat fatal bagi proses demokrasi di Kota Bitung, yang imbasnya bisa merugikan pihak – pihak lain. “Kemarin dan hari ini saya dan Pak Max Purukan yang dirugikan dan ketika proses hukum berjalan bisa saja ada pihak lain yang akan dirugikan apabila gugatan kami dimenangkan.
“Apapun hasilnya nanti, KPU Kota Bitung wajib bertanggung jawab terhadap situasi dan kondisi yang bakal terjadi di Kota Bitung, akibat tidak kredibelnya KPU dalam melaksanakan tugasnya”, ujar Lahiya.
Tidak diakomodir oleh KPU, hal itu bisa dilihat dalam bukti yang kami miliki. Sebab penganuliran Paslon 7 sebagai salah satu calon satu hari sebelum pemungutan suara cacat hukum. Proses Pengumuman kepada publik juga menabrak aturan, karena bukan dilakukan oleh KPU sendiri, ucap Lahiya.
Dengan menggunakan sarana lain, ada mobil dinas Kominfo untuk dilakukan publikasi, ada juga dengan menggunakan sara rumah ibadah (Toa Mesjid dan Gereja). Pada saat pemungutan suara di TPS 2 dilakukan hal – hal yang tidak wajar yaitu, perusakan surat suara dengan diberi tanda silang (X) pada surat suara, dll. Petugas KPPS melakukan aksi pelarangan mencoblos paslon nomor 7, padahal tidak boleh ada aksi – aksi seperti itu, sebab itu mengangkangi hak politik warga, jelas Lahiya dengan keras.
Perlu dicatat dan perlu diketahui, bahwa Paslon nomor 7 adalah Paslon yang pernah di TMS oleh KPU sebanyak 2 kali dan sehari sebelum pencoblosan kembali di TMS kan. Jelas ada unsure balas dendam. Kita akan uji semua bukti – bukti dan argument hukum dipersidangan Panwas Kota, PTUN, MK dan DKPP, pungkas Lahiya.