Reportase Sulut.com - Terkait eksekusinya lahan “MASATA” pada beberapa bulan lalu, Jumat
05 Februari 2016, yang diperuntungkan akan dijadikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) oleh Pemerintah
Kota Bitung, menjadi suatu persoalan begitu menyakitkan bagi masyarakat yang terkena
gusuran, Rabu (07/09).
Mantan aktivis ini mengatakan, pihaknya akan mengadvokasi warga MASATA dan menindaklanjuti pelanggaran - pelanggaran yang dilakukan Pemkot Bitung, bahwa tindakan pelanggaran HAM itu terjadi didepan mata kami dan tidak mungkin kami tutup mata. Kami memiliki bukti rekaman dan foto semua tindakan Pemkot yang melanggar HAM.
Salah satu pelanggaran HAM yang dilakukan Pemkot adalah tak memberikan ruang dialog atau negoisasi kepada warga sebelum melakukan pembongkaran. Padahal sebelumnya sudah disepakati akan ada negoisasi sebelum proses pembongkaran. Tapi kenyataannya, Pemkot dalam hal ini Dinas Tata Ruang langsung memerintahkan petugas dan alat berat untuk membongkar bangunan tanpa ada negoisasi.
Semenjak penggusuran, anak - anak tidak ada lagi yang pergi kesekolah karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan untuk menyekolahkan anak, kata salah satu warga MASATA, Martoyo Hasan. Martoyo mengatakan, semenjak digusur, para orang tua menjadi pengangguran karena lahan untuk bertani tidak ada lagi.
Sebelum digusur, pada umumnya kami bercocok tanam untuk membiayai anak sekolah. Jumlah anak sekolah tingkat SD yang terancam putus sekolah ada 100 anak, SMP sekitar 60, SMA ada 30 anak dan kuliah 10 anak, pungkas Martoyo Hasan.
Melaui Akun MASYARAKAT MASATA yang ada di Media
Sosial (Facebook) pada Selasa 06 September 2016, Pukul 14.51 Wita, mereka memposting
dengan mengatakan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado menilai telah terjadi
pelanggaran HAM berat diproses eksekusi warga MASATA.
Pelanggaran HAM berat itu dikatakan oleh
salah satu personil LBH Manado, Aryati Rahman, bahwa apa yang dilakukan Pemkot Bitung
dalam hal ini adalah Dinas Tata Ruang Kota Bitung telah terjadi pelanggaran HAM
berat disaat proses eksekusi dan itu kami tidak akan tinggal diam.
Mantan aktivis ini mengatakan, pihaknya akan mengadvokasi warga MASATA dan menindaklanjuti pelanggaran - pelanggaran yang dilakukan Pemkot Bitung, bahwa tindakan pelanggaran HAM itu terjadi didepan mata kami dan tidak mungkin kami tutup mata. Kami memiliki bukti rekaman dan foto semua tindakan Pemkot yang melanggar HAM.
Salah satu pelanggaran HAM yang dilakukan Pemkot adalah tak memberikan ruang dialog atau negoisasi kepada warga sebelum melakukan pembongkaran. Padahal sebelumnya sudah disepakati akan ada negoisasi sebelum proses pembongkaran. Tapi kenyataannya, Pemkot dalam hal ini Dinas Tata Ruang langsung memerintahkan petugas dan alat berat untuk membongkar bangunan tanpa ada negoisasi.
Penggusuran warga MASATA yang mendiami
lahan yang diperuntukkan untuk KEK, rupanya berimbas pada nasib ratusan anak
sekolah dipemukiman itu. Ada sekitar 200 anak sekolah dari pemukiman MASATA
yang saat ini terancan putus sekolah semenjak rumah mereka digusur.
Semenjak penggusuran, anak - anak tidak ada lagi yang pergi kesekolah karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan untuk menyekolahkan anak, kata salah satu warga MASATA, Martoyo Hasan. Martoyo mengatakan, semenjak digusur, para orang tua menjadi pengangguran karena lahan untuk bertani tidak ada lagi.
Sebelum digusur, pada umumnya kami bercocok tanam untuk membiayai anak sekolah. Jumlah anak sekolah tingkat SD yang terancam putus sekolah ada 100 anak, SMP sekitar 60, SMA ada 30 anak dan kuliah 10 anak, pungkas Martoyo Hasan.